Kamis, 04 Maret 2010
Dengan tergesa-gesa tapi juga santai (bagaimana itu), aku mempersiapkan diriku untuk berangkat sekolah. Sembari menunggu ayah, aku ikut mendengarkan siaran radio Suara Surabaya. Kebetulan aku mendengarkan sebuah siaran dimana seorang pria memberikan sebuah definisi tentang kehidupan.
Menurut pria tersebut, kehidupan adalah sebuah film. Dan alam raya ini adalah tempat shooting. Sementara itu, kita adalah pemain utama yang telah diberi kehidupan oleh sang pencipta. Semua orang adalah pemeran utama. Akan tetapi adas beberapa orang yang tidak ingin menjadi pemeran utama, sehingga mereka lebih memilih menjadi pemeran figuran.
Tetapi tanpa kita sadari, disanalah letak kesalahan kita. Ketika kita tak mau menjadi pemeran utama dalam sebuah film dalam kata lain lebih memilih untuk menjadi figuran, maka kita telah mengingkari apa yang telah Allah rencanakan untuk kita. Hal tersebut dapat mempengaruhi seberapa besar kebahagiaan sejati yang akan kita peroleh. Karena orang-orang yang memilih untuk menjadi figuran ketimbang tokoh utama takkan benar-benar mendapatkan kebahagiaan sejati. Padahal sesungguhnya, kebahagiaan sejati adalah ketika kita menerima apa yang telah Allah berikan kepada kita.
Kata-kata pria tersebut membuat saya teringat kepada sebuah cerpen yang pernah saya baca. Dalam cerpen tersebut sang penulis menceritakan bahwa sang tokoh utama bertemu dengan sepasang pengemis yang tua. Diceritakan bahwa tokoh itu begitu terpana ketika melihat pasangan itu. Digambarkan bahwa saat itu kedua pengemis itu sedang beristirahat. Sang suami adalah tuna netra, namun sang istri tetap setia menemani diusia yang renta ini.
Hal tersebut juga dapat kita lihat di sekitar kita. Contohnya anak-anak jalanan. Mereka meninggalkan bangku sekolah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka di jalanan. Tetapi lihatlah ekspresi wajah mereka. Tak jarang senyum dan tawa riang menghiasi wajah mereka. Entah karena mereka senang berkumpul dengan teman mereka, atau karena mereka telah berprasah dengan menjalani kehidupan mereka sekarang ini sehingga mereka tak merasa terlalu sedih.
Namun kita juga tak jarang menemui kasus kawin cerai ataupun korupsi. Padahal harta mereka (baca : orang-orang berpunya) begitu melimpah ruah. Tetapi tak sedikit yang melakukan korupsi untuk menambah harta. Alas an mereka klise : mengenyangkan perut. Begitu pula dengan kasus kawin cerai. Sedikit masalah lalu dibawa ke pengadilan. Jarang kita menemui pelaku kasus-kasus tersebut menampakkan wajah menyesal ataupun sedih. Para koruptor itu tak mensyukuri apa yang telahmereka miliki, malah terus menerus menguras uang rakyat. Sementara pasangan kawin cerai tak terlihat ingin mempertahankan bahtera rumah tangganya.
Begitu banyak orang yang tidak bisa mensyukuri apa yang mereka miliki. Salah satunya aku. Kebutuhanku dipenuhi oleh orangtuaku. Tapi saat aku menginginkan sesuatu dan tidak dikabulkan, aku akan langsung marah dan dalam istilah kerennya ‘ngambek’ lebih tepat digunakan.
Orang-orang yang selalu merasa tak puas, takkan mendapatkan kebahagiaan sejati. Orang-orang yang tak bias menerima apa yang telah diberikan kepadanya, akan selalu dihantui perasaan iri dan cemas. Kita tentu tak ingin hidup dalam dunia seperti itu.
Itulah mengapa kita menjadi tokoh utama dalam kehidupan kita. Ketika kita berpaling dari peran itu dan memilih untuk menjadi figuran (dimana kita tahu bahwa dia hanya meniru/menggantikan orang lain), kita sulit untuk menemukan kebahagiaan yang sejati. Sudah sepantasnyalah kita mensyukuri apa yang kita miliki sekarang ini. Meski kita berada dalam keadaan yang menyedihkan. Karena apa yang telah diberikan Allah saat ini memiliki sebuah tujuan yang mulia. Dimana tujuan itui akan mengantarkan kita kepada sebuah kebahagiaan yang sejati. Jalanilah peranmu sepenuh hati, kawan. Syukuri hidupmu dan jangan lupa kepadaNya. Maka kau akan merasakan betapa indahnya hidup ini.